Saturday, December 5, 2009

Kejamkah Hukum Rimba?



“Saya kurang tahu kenapa suatu keadaan yang buruk, dimana tidak ada keadilan atau keadilan susah dicari, orang selalu mengaitkannya dengan hukum rimba” luahan beberapa insan yang cuba meluahkan rasa kekecewaan mereka. Apakah memang hukum rimba seburuk itu?

Namun pada hemat saya, hukum rimba justru menunjukkan adanya sebuah konsistensi dari para penghuni rimba untuk patuh dan taat menjalankan hukum di rimba tempat mereka hidup sesuai dengan yang telah ditetapkan dan digariskan oleh sang pencipta mereka. Ertinya, hukum rimba itu sebetulnya tidak seburuk mana pun, justru di dalam hukum rimba itu kita akan dapat temukan adanya konsep keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan. Kurang percaya? Nah sekarang mari kita cuba kupas beberapa aspek yang ada dalam hukum rimba itu secara agak mendasar.

Dalam menggapai posisinya menjadi seekor pemimpin, binatang seperti singa jantan harus bertarung secara jantan untuk memperebutkan posisi tersebut dengan kekuatan sendiri. Lebih dari itu, yang kalah dalam memperebutkan posisi yang menjadi rebutan tersebut pun mau tidak mau terpaksa akur untuk menerima kekalahan mereka. Begitu pun ketika kejayaan harus terjadi, pemimpin generasi tua pun rela bersaing secara adil dengan generasi muda calon penerus mereka. Dan kalaupun si generasi tua kalah untuk mengekalkan kepemimpinannya seumur hidup, dia tak perlu berkomplot untuk melakukan konspirasi menggagalkan sang pemimpin muda.

Satu yang dianggap kejam (oleh manusia) dalam hukum rimba adalah kegiatan mangsa-memangsa, dimana yang kuat memangsa yang lemah. Nyatanya, apa yang terjadi di rimba mungkin tidak sekejam yang kita bayangkan. Kegiatan mangsa-memangsa memang terjadi, tetapi dalam situasi yang seimbang dan tidak ada keserakahan di dalamnya. Kegiatan mangsa-memangsa terjadi salah satunya justru untuk menjaga populasi para penghuni rimba agar tetap seimbang; tidak ada populasi haiwan tertentu yang berlebihan di satu sisi dan haiwan yang terancam populasinya di sisi lain. Haiwan yang menjadi mangsa pun biasanya diberi kelebihan oleh pencipta mereka untuk bisa beranak-pinak secara cepat, juga kemampuan untuk mempertahankan diri dari ancaman para pemangsa mereka. Ertinya, haiwan pemangsa pun harus punya kemampuan dan usaha yang keras jika ingin bisa mendapatkan haiwan buruannya untuk dimangsa. Selain dari itu, haiwan pemangsa pun punya sifat tidak serakah, ertinya ketika keperluan perut sudah terpenuhi (sudah kenyang), mereka tidak akan kemaruk menimbun makanan, walaupun haiwan yang biasa dimangsanya itu lewat di depan mata. Mereka tidak akan berusaha untuk mengejar binatang yang biasa dimangsanya kerana memang sudah tercukupi keperluan perut mereka pada saat itu.

Sekarang cuba bandingkan dengan ketidakpastian hukum (khususnya persada politik tempatan), jelas berbeza jauh bukan? Cuba perhatikan korupsi, penyelewengan dan penindasan , kecurangan politik dan dan sebagainya.

Justru malah ketidakpastian hukum yang banyak terjadi kitalah manusia yang mengancam “keadilan” yang ada dalam hukum rimba. Contohnya banyak seperti perburuan hidupan liar, pembalakan haram pembukaan tanah dengan membakar hutan, dan sebagainya. Sifat manusia seperti itu, yang sampai sekarang susah untuk dibawa ke pengadilan secara hukum, justru yang mengakibatkan banyak haiwan menjadi musnah dan terancam punah. Hukum rimba justru malah terancam oleh ketidakpastian hukum manusia.

Jadi, jangan analogikan hukum “chaotic” dengan hukum rimba, karena hukum rimba justru jauh lebih beradab (mohon maaf sebelumnya karena harus mengambil contoh perilaku hukum politik karena memang sangat tepat untuk dijadikan contoh). Sepertinya manusia yang suka bermain-main dengan hukum dan senang menciptakan sebuah keadaan dimana hukum menjadi chaotic perlu sekali-kali melakukan kajian perbandingan ke para penghuni rimba, atau sering-seringlah menonton acara dunia binatang… biar menyedari kalau ternyata hukum rimba masih jauh lebih baik dari itu.

2 comments:

tawadakan said...

Salam bertemu kembali,
hukum rimba macam c roslan manshor gergaji dua mata, pemotong balak haram...depan musbah sumpah dia sokong, depan salih sumpah dia sukung, depan pandikar sumpah dia sukung, depan japlin pun dia sokung juga, tapi di belakang dia potong...

SMA said...

Salam Batu Gadung. Gadung ini dalam bahasa orang kami di pulau Omadal ertinya "hijau"

Hukum riba kadang-kadang mcm rahsia kancil Dia tidak bijak cuma pintar membuat muslihat. Dia menipu haiwan lain di rimba namun akhiornya pemburu yg bijak pasti menembak kancil dulu sebelum kura-kura!

Seperti ikan Yu di Pulau omadal. menguasai grombolan ikan kecil,. tetapi kerana kebijaksanaan orang kami Yu akhirnya berkulut di pukat. ikan kecil lolos dan terlepas, sedang Yu berakhir jadi "Sinagol". Itu hukum laut Omadal.

Gergaji 2 mata sudah berkarat ditempat kami.

Tulisan Batu gadung ini yg berkualiti. Syabas Batu Gadung.